18 Agustus 2009

Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Di antara acara tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan meski syariat tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara tertentu menyambut datangnya bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah k. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.

Keutamaan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah k berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)
Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Rasulullah n bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النِّيْرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ

“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan dibelenggulah para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah k berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)

Penghapus Dosa
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لَمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)


Rukun Berpuasa

a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah n:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab z)
Juga hadits Hafshah x, bersabda Rasulullah n:

مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil t menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.
Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, ‘Aisyah g, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat.
Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah n pernah datang kepada ‘Aisyah x pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim)
Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abud-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman g. Ini adalah pendapat jumhur.
Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam.
Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama1.
b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab z bahwa Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas c bahwa Rasulullah n bersabda:

الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ

“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas c dan bukan sabda Nabi n). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
Wallahu a’lam.

1 Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red


Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?

Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanita maka harus bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orang tua yang lemah serta wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim dan ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib z bahwa Rasulullah n bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x:
“Utusan Rasulullah n mengumumkan di pagi hari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklah dia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin) makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanya hingga mendekati buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Berkata Ibnu Abbas c:
“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)
Anas bin Malik z tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan) sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orang yang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
Allah k berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janinnya atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha puasanya dan bukan membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi z, bersabda Rasulullah n:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. An-Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haidh dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.
Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah x:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Adalah kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Wallohu a’lam

RUKUN ISLAM

Rukun islam terdiri daripada lima perkara:
1.mengucap dua kalimat syahadat dan menerima bahwa Allah itu tunggal dan Nabi Muhammad itu rasul Allah.
2.Menunaikan sholat lima kali sehari.
3.Mengeluarkan zakat.
4.Berpuasa pada bulan ramadhan.
5.Menunaikan Haji bagi mereka yg mampu.

17 Agustus 2009

Malaikat

Malaikat itu bilangannya banyak sekali. Setiap malaikat mempunyai tugas masing-masing dari Tuhan. Ada diantara mereka yang rukuk sepanjang hidupnya. Ada yang sujud saja. Ada juga yang sepanjang hidupnya menjaga arasy. Bahkan setiap kejadian, setiap kerja-kerja Tuhan ada malaikat-malaikat yang diberi tugas untuk menunaikan dan memeliharanya.

1. Bersabda Nabi SAW : “Sesungguhnya aku mendengar langit berkeriut dan bergemeretak, dan tidaklah ada satu tempat sebesar sejengkal kecuali ada seorang malaikat meletakkan dahinya sedang bersujud atau berdiri shalat.”

2. Bersabda Nabi SAW : “Masuk ke dalam baitul Maâmur pada setiap harinya 70.000 malaikat dan tidak pernah keluar lagi sampai hari Kiamat.”

Ini bukan berarti Tuhan tidak kuasa untuk menjadikan dan memelihara segala sesuatu tanpa malaikat.Demikianlah diantara kehebatan dan kesempurnaan sistem Tuhan. Segalanya sangat tersusun, sangat teratur. Bahkan segalanya boleh terjadi hanya dengan berkata jadilah maka terjadilah segala sesuatu.

Ada seribu satu team Tuhan yang sentiasa taat setia kepadaNya yang disebut malaikat. Mereka sentiasa siap sedia membantu orang-orang yang beriman. Adapun malaikat-malaikat yang wajib kita kenali ada 10, mereka itu adalah sebagai berikut:

1. Malaikat Jibril , tugasnya adalah menyampaikan wahyu kepada nabi-nabi dan para rasul. Terutama kepada Baginda Rasulullah SAW. Kadang-kadang Malaikat Jibril itu datang menyerupai laki-laki yang gagah dan tampan dan ada kalanya para sahabatpun mendengar dan menyaksikan ia berdialog dengan Baginda.

Bentuk fisik Ruhul’qudus (Djibril) Bentuk fisik Ruhul’qudus, ada tertera dalam uraian mengenai kisah nabi Muhammad, kala beliau mendapat wahyu kali ke dua, dan nabi menuntut untuk bertemu atau melihat rupa asli sang utusan tuhan dari langit dalam rupa yang asli, atau bagaimana sesungguhnya dzat wujud Djibril tanpa rupa samar, sebagaimana di kali-kali yang lain, sang utusan (ruhul’qudus) selalu nampak dalam rupa seorang manusia biasa.

Ruhul’Qudus ; Tampak wujudnya dengan enam ratus sayap antara masrik dan magribh, (barat-timur) sayap dan busana kebesarannya putih laksana mutiara yang larut, dengan rupa yang begitu elok dan rupawan, dan dengan kekuatan yang dahsyat penuh mukzijat.

Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.

Malikat Jibril adalah malaikat yang menyampaikan berita kelahiran Nabi Isa (lihat di artikel Isa) kepada ibunya Siti Maryam dan juga malaikat yang menyampaikan Al’Quran kepada Nabi Muhammad.

Dalam kisah suci perjalanan Isra’ Mi’raj, sesampainya di pos perjalanan Sidratul Muntaha, Malaikat Jibril tidak sanggup lagi mendampingi Rasulullah untuk terus naik menghadap kehadirat Allah SWT;

beliau berkata : “Aku sama sekali tidak mampu mendekati Allah, perlu 60.000 tahun lagi aku harus terbang. Itulah jarak antara aku dan Allah yang dapat aku capai. Jika aku terus juga ke atas, aku pasti hancur luluh”.

Maha Suci Allah, ternyata Malaikat Mulia Jibril AS pun tidak sampai kepada Allah SWT.

2. Malaikat Mikail , tugasnya dalam soal kesejahteraan manusia seperti mengantar hujan, mengantar angin, soal kesuburan tanah dan kesuburan-kesuburan lainnya.

3. Malaikat Israfil , tugasnya dalam soal-soal yang berhubung kait dengan qiamat, seperti meniup sangkakala tanda qiamat, meniup sangkakala tanda manusia dibangkitkan di padang mahsyar dan lain-lain.

4. Malaikat Izrail , tugasnya adalah mencabut nyawa dan membawa nyawa itu kemana mestinya.

5. Malaikat Munkar dan

6. Nakir , tugas kedua-duanya adalah menyoal manusia yang sudah mati di alam kubur. Datang dengan wajah yang seram dan menakutkan bagi orang-orang yang mati membawa dosa dan hati yang tidak selamat. Dan sebaliknya wajah yang mereka tampilkan akan sangat indah dan menyejukkan pada mereka yang matinya husnul khatimah

7. Malaikat Rakib , tugasnya adalah menuliskan amalan baik manusia.

8. Malaikat Atid , tugasnya adalah mencatat amalan jahat manusia. Kedua-dua malaikat rakib atid itu sentiasa mengiringi manusia dimana saja mereka berada dan kemana sana mereka pergi. Malaikat rakib atid itu merupakan sekelompok malaikat yang jumlahnya sebanding dengan jumlah manusia sepanjang zaman.

9. Malaikat Malik , tugasnya adalah menjaga Neraka dengan penampilan yang sangat menakutkan dan mengerikan bagi para penghuni Neraka.

10. Malaikat Ridwan , tugasnya adalah menjaga Syurga dengan penampilan yang sangat menyenangkan para penghuni Syurga.

Itulah sepuluh malaikat yang wajib kita mengenal dan meyakininya sungguh-sungguh tanpa dicelahi keragu-raguan walaupun sedikit. Bukan hanya difikiran tetapi sampai terasa kewujudannya dihati. Sampai kita dapat membaca salam kepada mereka dan berkomunikasi dengan mereka.

Untuk itu tentu kita tidak cukup hanya belajar ilmu tauhid berkenaan dengan malaikat itu, tetapi mesti kita sentiasa bertafakkur, mujahadah, menghayati ibadah dan berdoa selalu, memohon kepada Allah agar kita diberi keyakinan yang sempurna kepada Allah dan apa-apa yang Tuhan perintahkan kepada kita untuk meyakininya. Dengan itu mudah-mudahan subur rasa bertuhan dan rasa kehambaan di hati kita, hingga benar-benar bersih hati kita, hijab dibukakan oleh Allah dan tidak ada batas lagi antara kita dengan malaikat.

Dari nama-nama malaikat di atas hanya tiga yang disebut dalam Al Qur’an, yaitu Jibril (QS 2 Al Baqarah : 97,98 dan QS 66 At Tahrim : 4), Mikail (QS 2 Al Baqarah : 98) dan Malik (QS Al Hujurat). Sedangkan Israfil, Munkar dan Nakir disebut dalam Hadits.

Nama Malaikat Maut, Izrail, tidak ditemukan sumbernya baik dalam Al Quran maupun Hadits. Kemungkinan nama malaikat Izrail didapat dari sumber Israiliyat. Dalam Al Qur’an dia hanya disebut Malaikat Maut. Walau namanya hanya disebut dua kali dalam Al Qur’an, malaikat Jibril juga disebut di banyak tempat dalam Al Qur’an dengan sebutan lain seperti Ruhul Qudus, Ruhul Amin dll.

Selain malaikat tersebut diatas Al Qur’an juga menyebutkan beberapa malaikat lainnya, seperti :

1. Malaikat Zabaniyah – 19 malaikat penyiksa dalam neraka
2. Hamalatul Arsy – empat malaikat pembawa Arsy Allah (pada hari kiamat jumlahnya akan ditambah empat menjadi delapan
3. Malaikat Rahmat (kitab Daqoiqul Akhbar)
4. Malaikat Kiraman Katibin – pencatat amal baik dan buruk
5. Malaikat Harut dan Marut

Asmaa’ul Husna

Dalam agama Islam, Asmaa’ul husna adalah nama-nama Allah ta’ala yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berarti yang baik atau yang indah jadi Asma’ul Husna adalah nama nama milik Allah ta’ala yang baik lagi indah.

Sejak dulu para ulama telah banyak membahas dan menafsirkan nama-nama ini, karena nama-nama Allah adalah alamat kepada Dzat yang mesti kita ibadahi dengan sebenarnya. Meskipun timbul perbedaan pendapat tentang arti, ma’na, dan penafsirannya akan tetapi yang jelas adalah kita tidak boleh musyrik dalam mempergunakan atau menyebut nama-nama Allah ta’ala. Selain perbedaaan dalam mengartikan dan menafsirkan suatu nama terdapat pula perbedaan jumlah nama, ada yang menyebut 99, 100, 200, bahkan 1.000 bahkan 4.000 nama, namun menurut mereka, yang terpenting adalah hakikat Zat Allah SWT yang harus dipahami dan dimengerti oleh orang-orang yang beriman.

Asmaa’ul husna secara harfiah ialah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah.

Para ulama berpendapat bahwa kebenaran adalah konsistensi dengan kebenaran yang lain. Dengan cara ini, umat Muslim tidak akan mudah menulis “Allah adalah …”, karena tidak ada satu hal pun yang dapat disetarakan dengan Allah, akan tetapi harus dapat mengerti dengan hati dan keterangan Al Qur’an tentang Allah ta’ala. Pembahasan berikut hanyalah pendekatan yang disesuaikan dengan konsep akal kita yang sangat terbatas ini. Semua kata yang ditujukan pada Allah harus dipahami keberbedaannya dengan penggunaan wajar kata-kata itu. Allah itu tidak dapat di misalkan atau dimiripkan dengan segala sesuatu.

Adanya pola berfikir yang mencampurkan pola pikir duniawi dan kenyataan yang sebenarnya. Dalam kaidah bahasa Inggris atau bahasa kita apabila kita ingin mengetahui tentang sesuatu maka kita akan bertanya : 1. Siapakah namanya? 2. Bagaimanakah Sifatnya? 3. Dimanakan tinggalnya? atau dimanakah tempatnya? 4. Sekarang sedang apakah? semakin banyak kita bisa menjawab pertanyaan maka akan semakin baik. Perbedaan dalam ma’rifat kepada Allah ta’ala ini adalah tidak bisa dengan pertanyaan pertanyaan diatas saja. ………… silahkan datang ke Majelis Ta’lim atau Majelis Ilmu.

Para ulama menekankan bahwa Allah adalah sebuah nama kepada Dzat yang pasti ada namanya. Semua nilai kebenaran mutlak hanya ada (dan bergantung) pada-Nya. Dengan demikian, Allah Yang Memiliki Maha Tinggi. Tapi juga Allah Yang Memiliki Maha Dekat. Allah Memiliki Maka Kuasa dan juga Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Sifat-sifat Allah dijelaskan dengan istilah Asmaaul Husna, yaitu nama-nama, sebutan atau gelar yang baik.

Berikut adalah 99 nama-nama Allah dalam Islam (Asmaa’ul Husna) :

01 Ar-Rahman : Yang Maha Pemurah

02 Ar-Rahim : Yang Maha Mengasihi

03 Al-Malik : Yang Maha Menguasai

04 Al-Quddus : Yang Maha Suci

05 Al- Sallam : Yang Maha Selamat Sejahtera

06 Al-Mu’min : Yang Maha Melimpahkan Keamanan

07 Al-Muhaimin : Yang Maha Pengawal serta Pengawas

08 Al-Aziz : Yang Maha Berkuasa

09 Al-Jabbar : Yang Maha Kuat

10 Al-Mutakabir : Yang Melengkapi Segala Ke Besarannya

11 Al-Khaliq : Yang Maha Pencipta

12 Al-Bari : Yang Maha Menjadikan

13 Al-Musawwir : Yang Maha Pembentuk

14 Al-Ghaffar : Yang Maha Pengampun

15 Al-Qahhar : Yang Maha Perkasa

16 Al-Wahhab : Yang Maha Penganugerah

17 Al-Razzaq : Yang Maha Pemberi Rezeki

18 Al-Fattah : Yang Maha Pembuka

19 Al-’Alim : Yang Maha Mengetahui

20 Al-Qabidh : Yang Maha Pengekang

21 Al-Basit : Yang Maha Melimpah Nikmat

22 Al-Khafidh : Yang Maha Perendah (Pengurang)

23 Ar-Rafi’ : Yang Maha Peninggi

24 Al-Mu’izz : Yang Maha Mengasihi dan menghormati (Memuliakan)

25 Al-Muzill : Yang Maha Menghina

26 As-Sami’ : Yang Maha Mendengar

27 Al-Basir : Yang Maha Melihat

28 Al-Hakam : Yang Maha Mengadili

29 Al-’Adl : Yang Maha ‘Adil

30 Al-Latif : Yang Maha Lembut serta Halus

31 Al-Khabir : Yang Maha Mengetahui

32 Al-Halim : Yang Maha Penyabar

33 Al-’Azim : Yang Maha Agung

34 Al-Ghafur : Yang Maha Pengampun

35 Asy-Syakur : Yang Maha Bersyukur

36 Al-’Aliy : Yang Maha Tinggi serta Mulia

37 Al-Kabir : Yang Maha Besar

38 Al-Hafiz : Yang Maha Memelihara

39 Al-Muqit : Yang Maha Menjaga

40 Al-Hasib : Yang Maha Penghitung

41 Al-Jalil : Yang Maha Besar serta Mulia

42 Al-Karim : Yang Maha Pemurah

43 Ar-Raqib : Yang Maha Waspada

44 Al-Mujib : Yang Maha Pengkabul

45 Al-Wasi’ : Yang Maha Luas

46 Al-Hakim : Yang Maha Bijaksana

47 Al-Wadud : Yang Maha Penyayang

48 Al-Majid : Yang Maha Mulia

49 Al-Ba’ith : Yang Maha Membangkitkan Semula

50 Asy-Syahid : Yang Maha Menyaksi

51 Al-Haqq : Yang Maha Benar

52 Al-Wakil : Yang Maha Pentadbir

53 Al-Qawiy : Yang Maha Kuat

54 Al-Matin : Yang Maha Teguh

55 Al-Waliy : Yang Maha Melindungi

56 Al-Hamid : Yang Maha Terpuji

57 Al-Muhsi : Yang Maha Penghitung

58 Al-Mubdi : Yang Maha Pencipta dari Asal

59 Al-Mu’id : Yang Maha Mengembali serta Memulihkan

60 Al-Muhyi : Yang Maha Menghidupkan

61 Al-Mumit : Yang Mematikan

62 Al-Hayy : Yang Senantiasa Hidup

63 Al-Qayyum : Yang Hidup serta Berdiri Sendiri

64 Al-Wajid : Yang Maha Penemu

65 Al-Majid : Yang Maha Mulia

66 Al-Wahid : Yang Maha Esa

67 Al-Ahad : Yang Tunggal

68 As-Samad : Yang Menjadi Tumpuan

69 Al-Qadir : Yang Maha Berupaya

70 Al-Muqtadir : Yang Maha Berkuasa

71 Al-Muqaddim : Yang Maha Menyegera

72 Al-Mu’akhkhir : Yang Maha Penangguh

73 Al-Awwal : Yang Pertama

74 Al-Akhir : Yang Akhir

75 Az-Zahir : Yang Zahir

76 Al-Batin : Yang Batin

77 Al-Wali : Yang Wali / Yang Memerintah

78 Al-Muta’ali : Yang Maha Tinggi serta Mulia

79 Al-Barr : Yang banyak membuat kebajikan

80 At-Tawwab : Yang Menerima Taubat

81 Al-Muntaqim : Yang Menghukum (mereka yang bersalah)

82 Al-’Afuw : Yang Maha Pengampun

83 Ar-Ra’uf : Yang Maha Pengasih serta Penyayang

84 Malik-ul-Mulk : Pemilik Kedaulatan Yang Kekal

85 Dzul-Jalal-Wal-Ikram : Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan

86 Al-Muqsit : Yang Maha Saksama

87 Al-Jami’ : Yang Maha Pengumpul

88 Al-Ghaniy : Yang Maha Kaya serta Serba Lengkap

89 Al-Mughni : Yang Maha Mengkayakan dan Memakmurkan

90 Al-Mani’ : Yang Maha Pencegah

91 Al-Darr : Yang Mendatangkan Mudharat

92 Al-Nafi’ : Yang Memberi Manfaat

93 Al-Nur : Yang bercahaya

94 Al-Hadi : Yang Memimpin dan Memberi Pertunjuk

95 Al-Badi’ : Yang Maha Pencipta Yang Tiada BandinganNya

96 Al-Baqi : Yang Maha Kekal

97 Al-Warith : Yang Maha Mewarisi

98 Ar-Rasyid : Yang Memimpin (Ke arah Kebenaran)

99 As-Sabur : Yang Maha Penyabar

“Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik (yang mulia) maka serulah (dan berdoalah) kepadaNya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang berpaling dari kebenaran dalam menggunakan nama-nama-Nya. Mereka akan mendapat balasan mengenai apa yang mereka telah kerjakan.” (Surah Al-A’raf, ayat 180).

Nabi Muhammad SAW dari Perkawinan Sampai Masa Kerasulannya

Dengan duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.Paras mukanya manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke merah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat: pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.

Bila berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya.

Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.

Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia rnemutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.

Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu.

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.

Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin’l-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.

Sudut-sudut Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin’l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan.3 Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.

Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd’d-Dar dan keluarga ‘Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd’d-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La’aqat’d-Dam, yakni ‘jilatan darah.’

Abu Umayya bin’l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka: “Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.”

Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya.”

Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu.

Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain,” katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; “Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.” Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan.

Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.

Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.

Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka’bah dan memberikan keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah, menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.

Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La’aqat’d-Dam (’Jilatan Darah’), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.

Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya sesudah matinya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.

Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu – suatu hal yang tidak akan berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang Quraisy sendiri, meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir. Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka’bah, ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan memang demikianlah sebenarnya, dibalik kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.

Ada beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan berhala ‘Uzza; empat orang di antara mereka diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. ‘Amr, Usman bin’l-Huwairith, ‘Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b. Naufal.

Mereka satu sama lain berkata: “Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa artinya kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini.”

Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. ‘Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya – Umm Habiba bint Abi Sufyan – tetap dalam Islam, sampai kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan Umm’l-Mu’minin.

Zaid b. ‘Amr malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke dinding Ka’bah: “Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya.”

Usman bin’l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah, pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubernurnya. Tetapi penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah. Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.

Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.

Pada tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan, ditimpa kesedihan berulang-ulang!? Perasaan sedih karena kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup terbayang pada istennya, terlihat setiap ia pulang ke rumah duduk-duduk di sampingnya

Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu.

Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan dengan membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka’bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat, ‘Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4

Ia ingn menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak berguna sama sekali.

Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu’). Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l-’Ash bin’r-Rabi’ b.’Abd Syams – ibunya masih bersaudara dengan Khadijah – seorang pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam – ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke Medinah – mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan ‘Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5

Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalahNya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir seperti , dilakukan oleh Waraqa b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah kebenaran semata. Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali dinyatakan kepada orang lain.

Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth.6

Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam dinnya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.

Di puncak Gunung Hira, – sejauh dua farsakh7 sebelah utara Mekah -terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.

Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.

Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali. Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan ‘Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan?
Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira’. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.

Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira’, ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.

Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula.” (Qur’an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka.

Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira’ melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan jin.

Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.

Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: “Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata: “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya …” (Qur’an 96:1-5)

Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8

Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.

Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.

Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?

Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.

Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: “Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.

“Khadijah, kenapa aku?” katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja.

Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:

“O putera pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,10 aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”

Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu kellidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.

Catatan kaki:

1. Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi, bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua orang: al-Qasim dan Abdullah, yang diberi julukan at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga, ada pula yang mengatakan empat orang.
2. Mungkin nama ini sudah diarabkan (A)
3. Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan nama-nama sudut utara, ar-rukn’l-iraqi (Irak), sudut selatan, ar-rukn’l-yamani, sudut barat, ar-rukn’l-syami dan sudut timur, ar-rukn’l-aswad (A)
4. Hubal, Lat, ‘Uzza dan Manat adalah berhala-berhala sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala terbesar yang tinggal dalam Ka’bah, dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia (lihat halaman 21-22). Keterangan tentang tuhan-tuhan wanita Lat. ‘Uzza dan Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat dalam bentuk manusia juga, ‘Uzza berhala kaum Thaqif. ‘Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak di antara Mekah dengan Ta’if. Manat merupakan batu putih, berhala kaum Hudhail dan Khuza’a. Ketiga-tiganya itu berbentuk wanita. (A)
5. Usman b. ‘Affan, Khalifah ketiga. Setelah Ruqayya diceraikan oleh ‘Utba diambil isteri oleh Usman b. ‘Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan ‘Utaiba, lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun ke-2 H. Ruqayya wafat, Usman kawin dcngan Umm Kulthum. Ia meninggal dalam tahun ke-9 H. di Medinah (A).
6. Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar dengan hanif, yang berarti ‘cenderung kepada kebenaran’ ‘meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah’ (LA) atau sebaliknya dari perbuatan syirik. (Bandingkan Qur’an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha, beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada Tuhan’ (N). ‘Beribadat dan menjauhi berhala, seperti tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua kata ini tidak diterjemahkan (A).
7. Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala, kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km. (A).
8. Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na’im al-Ashbahani dalam bukunya Dala’il’n-Nubawa dari ‘Alqama bin Qais, bahwa “Yang mula-mula didatangkan kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: “Ini yang dikatakan ‘Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan yang baik, diperkuat oleh yang datang sebelum dan sesudahnya.”
9. Suatu kebiasaan orang Arab memanggil orang yang dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek moyang yang sama, yakni Qushayy (A).
10. Suatu pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada masa itu, maksudnya “Demi Allah” (A)

16 Agustus 2009

Nabi Muhammad SAW dari Kelahiran Sampai Masa Perkawinan

Usia Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abd’l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, – pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya. Sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.

Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd’l-Muttalib. Tak seberapa lama kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi isterinya selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping Aminah.

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

Abdullah Wafat Begitu berita sampai kepada Abd’l-Muttalib ia mengutus Harith – anaknya yang sulung – ke Medinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga Abd’l-Muttalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman – yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.

Muhammad Lahir Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain iapun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Banu Sa’d), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Mekah.

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai sur l’Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd’l-Muttalib.

Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi,” jawab Abd’l Muttalib.

Disusukan Oleh Keluarga Sa’d Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang Keluarga Sa’d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.

Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya.

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua’ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd’l-’Uzza suaminya: “Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga.”

“Baiklah,” jawab suaminya. “Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Kisah Dua Malaikat dan Pembedahan Dada Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan.”

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan – seperti cerita Halimah kepada Aminah – ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata:

“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.

Lima Tahun Selama Tinggal Di Pedalaman

Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?” (Qur’an 94: 1-3)

Apa yang telah diisyaratkan Qur’an itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Qur’an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Qur’an tentang kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa’d bin Bakr.”

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya. Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang ketempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd’l-Muttalib dan memberitahukan bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota Mekah. Lalu Abd’l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian setengah orang berkata.

Di Bawah Asuhan Abd’l-Muttalib

Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Aminah Wafat Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.

Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?” (Qur’an, 93: 6-7)

Abd’l-Muttalib Wafat

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abd’l-Muttalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun akhirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd’l-Muttalib ini merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Di Bawah Asuhan Abu Talib Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib.

Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan – ketika itu usia Muhammad baru duabelas tahun – mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap ragu-ragu dalam hati Abu Talib.

Pergi Ke Suria Dalam Usia Duabelas Tahun Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’allaqat3. Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Perang Fijar Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan Al-Fijar4 ini karena ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah pekan-pekan dagang diadakan di ‘Ukaz, yang terletak antara Ta’if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu’l-Majaz, tidak jauh dari ‘Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar perdagangan, berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka’bah. Pekan ‘Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss (bin Sa’ida) berpidato dan di tempat itu pula orang-orang Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan suci.

Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan membunuh ‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin. Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu’man bin’l-Mundhir setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke ‘Ukaz membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa lalu tampil pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

Adapun pilihan Nu’man terhadap ‘Urwa (Hawazin) ini telah menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut balas kepada Quraisy. Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan bahwa tahun depan perang akan diadakan di ‘Ukaz.

Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.

Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawazin lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”

Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan ‘Abd’l-Muttalib wafat, dan masing-masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin ‘Abd’l-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya sampai orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf’l-Fudzul. Ia mengatakan, “Aku tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti kukabulkan.”

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya

Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu.

Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).

Menggembala Kambing Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.”

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari, bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan, matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan sampai – selama tugasnya di pedalaman itu – ada domba yang sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang begitu kuat ini?

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.

Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata, bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang martabatnya jauh di bawah Muhammad?

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh materi. Apa gunanya ia mengejar itu padahal sudah menjadi bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.

Bukankah dia juga yang pernah berkata: “Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai kenyang?” Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang mengejar harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya. Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang. Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir, yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.

Akan tetapi Abu Talib pamannya – seperti sudah kita sebutkan tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki yang akan diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu usahanya itu terus dikembangkan.

Ke Suria Membawa Dagangan Khadijah Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya – yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun.

“Anakku,” kata Abu Talib, “aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?”

“Terserah paman,” jawab Muhammad.

Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:

“Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?” tanya Abu Talib. “Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.”

“Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai.” Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. “Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,” katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala umurnya baru duabelas tahun.

Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Mekah.

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta – seperti sudah kita uraikan di atas.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.

Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr’-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: “Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu.”

Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah. Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Perkawinannya Dengan Khadijah Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy – tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya – kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?”

“Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad.

“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?”

“Siapa itu?”

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.”

“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isteri yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Catatan kaki:

[1] Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).

[2] Abwa’ ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa, jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.

[3] Al-Mu’allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh penyair: Imr’l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, ‘Antara, ‘Amr ibn Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu’allaqat berarti ‘yang digantungkan’ yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas (almudhahhab) di atas kain lina (A).

[4] Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).